Sore itu ketika membuka akun facebook ku . Kulihat pesan dari grup Alumni sekolahku . Di sana tertulis " Kisah seorang kakak & adik Sebuah Kisah untuk kita renungkan dan jadikan motivasi. ( Jangan Menangis .... )"
Sejenak aku menggumam ,jangan menangis? apa maksudnya. aku tak merasa segampang itu akan menangis . Dan untuk alasan apakah aku harus menangis ? Untuk membuktikan isi tulisan itu aku memutuskan untuk membacanya. Kuliaht tulisan itu cukup panjang, terlebih lagi aku membuka akun fb melalui telepon genggamku, sedikit menyurutkan keinginanku saat itu namun mataku sudah lebih dulu menyapu baris demi baris tulisan panjang yang membuatku penasaran.
baris demi baris ku baca dengan seksama, ya ampun ... pipiku basah.. hah? aku sedikit terkejut dan semakin larut dalam ribuan kata yang telah ku baca. Cerita ini sungguh mengharukan teman! karena itu saya berniat membagi cerita ini pada kalian semua. Mari kita baca... :D
Kisah seorang kakak & adik Sebuah Kisah untuk kita renungkan dan jadikan motivasi. ( Jangan Menangis .... )
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari
demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka
menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda
dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua
gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh
sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku
dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu
ditangannya. “Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku
terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun
mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua
layak dipukul!”
Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang
melakukannya!”
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku
bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus-menerus
mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal
memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak
dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!” Malam itu, ibu dan
aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka,
tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam
itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku
dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi
sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu membenci
diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan
seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika
ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk
masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima
untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok
di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang
begitu baik… hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang
mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa
membiayai keduanya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke
hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah
lagi, telah cukup membaca banyak buku. ” Ayah mengayunkan tangannya dan
memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu
keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan
saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian
ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku
menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang
membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan
sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang
kemiskinan ini.”
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak
lagi meneruskan ke universitas.Siapa sangka keesokan harinya, sebelum
subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian
lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping
ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk
ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan
mengirimimu uang.” Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku,
dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun
itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam
dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen
pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai
ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk
dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar
sana! “Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan
keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup
debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada
teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat
bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya
adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?” Aku merasa
terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari
adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak
perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…” Dari sakunya, ia
mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya
kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota
memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.” Aku tidak
dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam
pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah
telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku
pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak
perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!”
Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal
untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya?
Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan
sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku
menanyakannya. “Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di
lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan
itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia
berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir
deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku
mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi
mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun,
mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga,
mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah
di sini.” Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku
mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan.
Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai
bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah
tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan
listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya.
Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak
menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang
berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius.
Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”
Dengan
tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan
kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak
berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa
yang akan dikirimkan?” Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian
keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, “Tapi kamu kurang pendidikan
juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku
menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku
kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun
itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya
kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan
berpikir ia menjawab, “Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan
menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat.
“Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap
hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah
dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung
tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai
satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya
begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat
memegang sendoknya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih
hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”
Tepuk
tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya
kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam
hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam
kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini,
air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
»
Bisakah kita memiliki jiwa besar seperti si adik yang seperti dalam
cerita, … tapi bagaimanapun, yang namanya Saudara patut kita jaga dan
kita hormati, apakah itu seorang adik atau seorang kakak. Karena apa
arti hidup kalau tidak bisa membahagiakan sodara dan keluarga kita.